Sampe Purba |
Di kota-kota besar, di mana Pesta adat Unjuk diselenggarakan di Gedung Pertemuan., setelah acara selesai - biasanya selepas maghrib - akan dilanjutkan dengan Ulaon Sadari. Acara ini terkesan sangat dipaksakan. Dan menyesatkan ! . Terlepas rumang ni ulaon apakah dialap jual atau taruhon jual, prosesinya adalah sama. Pengantin wanita dan suaminya berdiri di jajaran keluarga Parboru., kemudian dengan membawa tandok berisi lampet dan beras, beberapa Boru/ pariban ni boru muli bersama kedua pengantin tersebut, melangkah ke seberang meja di jajaran Paranak. Selanjutnya kedua pengantin tinggal di situ, dan rombongan boru tadi kembali ke jajaran meja Parboru dengan membawa makanan adat lengkap (biasanya anak ni pinahan lobu/ pinallo dengan parjambarannya). Boru tersebut juga diberikan amplop yang dikategorikan sebagai Upa Panaru. Prosesi ini tidak lebih dari 10 menit. Setelah itu bubar, karena kedua hasuhuton sudah berdiri, karena memang sudah siap-siap mau pulang ke rumah masing-masing setelah sehari penuh mengikuti acara pesta.
Ini adalah prosesi yang menyesatkan, melecehkan dan mendangkalkan arti Paulak Une Tingkir Tangga. Argumentasi untuk itu adalah sebagai berikut :
Apabila rumang ulaon adalah ditaruhon jual, artinya bolahan amak/ host/ shahibul bait adalah Paranak. Bagaimana mungkin logikanya, pengantin wanita/ boru muli yang telah dirajahon hot di hundulanna , dan dipestakan di halaman rumah suaminya, harus di buat seolah-olah berangkat lagi dari rumah orangtua parboru. Kalau saja, rumang ulaon adalah di alap jual, masih ada logikanya, sekalipun kekeliruan maknanya lebih banyak lagi.
Pada substansinya, paulak une adalah suatu acara antar keluarga inti, beberapa hari setelah pesta unjuk selesai. Keluarga muda ini bersama orang tuanya akan datang ke rumah parboru, untuk bersilaturahmi, mengingat pada waktu pesta tidak banyak waktu bersama. Tetapi satu esensi penting, adalah ucapan terima kasih dari pengantin pria, bahwa orang tua pengantin wanita berhasil mengasuh, mendidik dan memelihara adab dan adat borunya, yang tetap dalam kondisi "Gadis", hingga ke hari perkawinannya. Gadis itu, tetap "UNE". Pada zaman dahulu, "UNE", adalah semacam jimat yang menjaga kegadisan seorang wanita dari pria jahat (semacam jimat anti pemerkosaan), yang diberikan orang tua kepada anak gadisnya. UNE tersebut dikembalikan (dipaulak UNE) dengan ketakziman oleh menantu laki-lakinya.
Apabila seorang pengantin wanita ternyata sudah tidak gadis lagi, maka si pria akan meninggalkan SALAPA/ tempat tembakau yang kosong di sisi tempat tidurnya. Kemudian, utusan keluarga Paranak akan membawa SALAPA tsb ke hutanya parboru, serta menyampaikan maksud akan mengembalikan/ paulakhon/ mangolting/ menceraikan boru tsb. Apabila bukti-buktinya kuat, maka hal tersebut akan diterima dan disahkan oleh para pengetuai adat. Si wanita akan dijemput balik oleh parboru, atau dipaulak oleh paranak. Sementara itu, Sinamot/ mahar/ tuhor yang telah diberikan paranak sebelumnya harus dikembalikan parboru dua kali lipat. Di sini, ungkapan/ pepatah yang berlaku adalah :
Si dangka sidangkua, si dangka ni singgolom, na sada gabe dua, na tolu gabe onom, utang ni si pahilolong !!!
Nasehat kepada orang tua, yang memiliki boru untuk menjaga kesucian adalah :
"Marsihurhe manukna, unang teal buriranna".
Tinallik bulung si hupi, pinarsaong bulung siala
Unang sumolsol tu pudi, ndang sipasingot na so ada
Demikianlah, betapa sakral dan suci suatu lembaga pernikahan adat batak, dalam konteks Paulak UNE yang sesungguhnya.
Dengan model yang sangat LEAS/ NEANG/ ASAL-ASALAN sekarang ini, di dalam ULAON SADARI, maka hilang dan sirna lah sudah esensi PODA moral kepada generasi muda kita untuk selalu menjaga kesucian tersebut.
Tingkir Tangga
Tingkir Tangga adalah kunjungan balasan dari orang tua pengantin wanita bersama kerabat terdekatnya, ke huta Hela/ besannya, beberapa waktu setelah singkop/ tuntas Paulak Une., secara umum untuk melihat keadaan sosial, ekonomi dan spritual boru dan helanya.
Maknanya adalah silaturahmi dengan keluarga besar besan/ tondong, sebagai implementasi bahwa dengan adanya pernikahan, maka hubungan kekeluargaan itu tidak hanya terbatas pada hela dan boru saja tetapi menyangkut juga keluarga besarnya. Adapun istilah TANGGA dimaksud, beberapa pihak menafsirkan adalah untuk melihat apakah hela/ borunya berasal dari keluarga par tangga ganjil, ruma timbo, yang melambangkan asal usul keluarga yang jelas, atau partangga gonop, yakni keluarga yang tidak jelas asal usulnya, atau mungkin bekas hatoban/ na tinean dan sebagainya.
Tetapi sesungguhnya, klaim ini sudah kurang relevan, karena ketika akan mengawali partuturan/ partondongon, mulai pra marhori-hori dinding, utusan/ intelijen parboru seyogianya melakukan pengumpulan informasi lebih awal mengenai kekeluargaan calon helanya.
Pepatah menyebut :
Pangaririt pe baoa si doli, lobi pangariritan do ianggo si boru. Faktor bobot, bibit, bebet dan sebagainya harus sudah dipertimbangkan. Ini bukan soal materialisme, tetapi adalah untuk kehati-hatian. Orang yang terburu-buru, dan tidak melakukan pertimbangan yang matang, komprehensif adalah bagaikan :
Nai humarojor tata indahanna, Nai humalaput mabola hudonna.
Kenyataan bahwa misalnya, ternyata hela adalah keluarga yang berasal dari partangga gonop, tidak memiliki dasar yuridis adat yang kuat sebagai alasan untuk menarik boru itu. Itulah jodoh/ sirongkap ni tondi nya, yang sudah direstui dan digabei untuk maranak marboru, matangkang manjuara.
Ndada simanuk manuk, sibontar andora, ndada sitodo turpuk si ahut lomo ni roha.
Orang tua parboru harus menerimanya dengan lapang dada, memberikan nasehat dan dorongan kepada keluarga muda tersebut untuk bekerja keras, hormat, dan melakukan yang terbaik di keluarga besar paranak. Kalau sekiranyapun status keluarga/ ekonomi orangtua parboru lebih tinggi, atau dari turunan yang merupakan "buruk-buruk ni jarango, ihur-ihur ni bosi ma tasik - keluarga yang telah makmur dan terhormat beberapa turunan), itu tidak boleh menjadi alasan untuk kurang menaruh hormat. Sebaliknya, orang tua boru akan menasehati borunya untuk tetap menjaga nama besar dan nama baik keluarga asalnya. Borunya adalah utusan/ duta besar terbaik dari keluarga parboru "na patimbo parik jala na gabe paniaran di keluarga hela nya".
Demikianlah sesungguhnya, makna Paulak Une dan Tingkir Tangga.
Disarankan, di kota-kota besar di mana karena keterbatasan waktu dan sebagainya, tidak perlu dan JANGAN dilakukan itu acara ULAON SADARI, karena itu adalah MENYESATKAN dan MENDANGKALKAN makna yang sesungguhnya. Hal kunjung- mengunjung keluarga, dapat ditunda, sampai tiba waktu na lehet/ ombas na uli . Apalagi di zaman kemajuan teknologi ini, komunikasi sudah sedemikian baik dan lancar.
Pragmatisme pelaksanaan adat, tidak boleh mengkudeta atau menyimpangi esensi substansi yang hendak ditegakkan. Pir tondi ma togu, horas tondi ma dingin.*) Jakarta, Desember 2013. Penulis, Praktisi, dan penikmat adat habatahon na tur. *)