Daftar Blog Saya

Sabtu, 12 Oktober 2013

Perjalanan Pendeta Lyman dan Munson ke Tanah Batak

Hari yang indah. Pada tanggal 9 Juli 1833, para jemaat di Boston, Amerika Serikat, membuat perjamuan gereja. Dalam pesta itu, semua perhatian orang tertuju pada dua pendeta muda, Samuel Munson dan Henry Lyman. Esok, mereka akan berangkat membelah samudera menuju sebuah negeri jauh yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tidak ada jadwal pasti untuk kembali.

Negeri itu bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang.

Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang rohaniawan berkebangsaan Inggeris, Pendeta Madhurst. Untuk memudahkan komunikasi selama dalam misi, kedua pendeta yang baru tiba itu segera mempelajari bahasa Melayu sambil membuka praktik pengobatan. Memang, selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.

Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk keberangkatannya ke Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia sekolah pendeta di negerinya. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).

Tepat pada hari Minggu, 6 April 1834, Pendeta Madhurst mengadakan perjamuan suci untuk keberangkatan kedua pendeta ini. Dua hari kemudian, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.

Keduanya kagum melihat keindahan Pulau Sumatera yang terdiri dari pegunungan, lembah, dan hutan yang sangat luas. Tapi pelayaran kali ini tidak terlalu ramah. Gelombang besar menghantam lambung Mederika. Seisi kapal diaduk-aduk. Para penumpang terpental dan kepanikan pun terjadi. Seorang tawanan Belanda menemui ajalnya setelah terhempas pada tiang layar. Mayatnya kemudian dibuang ke laut.

Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka sudah menjejakkan kaki di Padang. Pendeta Ward menyambut keduanya. Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut Pendeta Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Pendeta Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang disertai tarian (tortor).

Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba di Tanah Batak untuk pertamakalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet, seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain. Rombongan kecil ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang, selama 6 hari. Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta alam ketika melalui medan yang sangat sulit.

Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Dari puncak-puncak Bukit Barisan, panorama lembah hijau ini mampu menggetarkan jiwa siapapun yang memandangnya. Kelak, di salah satu puncak bukit pinus, pendeta sederhana asal Jerman yang sangat dihormati orang Batak, Ingwer Ludwig Nommensen, memandang dataran itu, lalu berlutut menatap langit seraya menyampaikan satu permohonan dengan bibir yang gemetar. Doa itu sangat terkenal hingga hari ini. Tuhan, hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa Batak untuk menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin. Bukit itu kini dinamakan Siatas Barita. Di puncaknya, pemerintah mendirikan satu tugu relijius sebagai peringatan pada Pendeta Nommensen, yakni Salib Kasih.

Ketika sampai di kampung Raja Suasa, Pendeta Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka menginformasikan lebih dulu kedatangannya di Silindung. Saat itu, suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Pendeta Ward, kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.

Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua missionaris itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan.

Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus kedatangan mereka ke daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson. Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil dari arah lain dan Pendeta Lyman roboh bercucuran darah.

Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masih mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang insiden tersebut digambarkan oleh Jan.

Dari versi masyarakat Batak sendiri, kelompok yang terlibat dalam penyergapan di Puncak Lobu Sisakkap, Desa Dolok Nauli, Adiankoting, tersebut adalah Raja Panggalamei Lumbantobing dan pengikutnya. Raja Panggalamei digambarkan sebagai seorang laki-laki perkasa dengan tinggi badan lebih dari 2 meter. Tenaganya luar biasa hingga dapat melemparkan tanah dengan cangkul sejauh 3 sampai 8 km. Saat itu, sebagai penjaga wilayah, Raja Panggalamei mendapat informasi bahwa orang Belanda (si bontar mata) sedang menuju Tanah Batak dengan tujuan memulai penjajahan. Raja-raja turunan Siopat Pisoran lantas berembuk dan membuat kesepakatan untuk memanfaatkan kekuatan Raja Panggalamei untuk menjaga Puncak Lobu Sisakkap sebagai perbatasan dan pintu masuk dari selatan menuju Rura Silindung.

Keturunan Raja Siopat Pisoran adalah penghuni terbesar kawasan Rura Silindung. Ketika Munson dan Lyman tiba di Puncak Lobu Sisakkap, Raja Panggalamei dan pengikutnya langsung menduga bahwa mereka adalah bagian dari rencana awal Pemerintah Belanda yang ingin menguasai Tanah Batak. Setelah penangkapan, terjadilah komunikasi yang tidak saling memahami.

Konon, Raja Panggalamei yang bertanya dengan nada dan ungkapan-ungkapan yang keras khas Batak, telah membuat penerjemah Munson ketakutan dan lari terbirit-birit. Karena tak memiliki penerjemah lagi, Munson mencoba menenangkan suasana dengan isyarat. Ia menyerahkan sepucuk senjata api yang dibelinya dari salah satu toko di Padang dengan maksud memberikan pesan damai. Tapi makna isyarat itu gagal ditangkap oleh Raja Panggalamei, dan ia malah menduga si bontar mata (si mata putih) itu mau menembak dirinya, sehingga ia cepat-cepat angkat pedang dan mengayunkannya pada dua orang berkulit putih itu.

Kedua versi tersebut tentu saja masih membutuhkan penelitian yang lebih rinci agar Sejarah Batak dapat didudukkan pada porsi yang sebenarnya. Bonnet sendiri, seusai menerima kisah Jan, menyimpulkan bahwa Munson dan Lyman telah mati martyr saat menjalankan misi suci di Lobu Pining Adiankoting. Bagi orang Batak Kristen masa kini, kematian mereka adalah pengorbanan besar dalam misi keagamaan terhadap Tanah Batak yang masyarakatnya saat itu masih menganut sipelebegu. Masyarakat Batak Kristen mengenangnya sebagai pendeta yang berjasa pada misi kekristenan di Tapanuli. Sebuah monumen kini dibangun di tengah perladangan yang sepi di Lobu Pining, Kecamatan Adiankoting, di mana tulang belulang mereka dikebumikan. Monumen itu sekitar 20 km dari Kota Tarutung ke arah Sibolga.

Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di Northhampton, Amerika Serikat. Dari catatan sejarah, kedua missionaris ini berbeda karakter dan intelijensi sejak masa kecilnya. Munson adalah seorang anak yang pintar dan cerdas, sementara Lyman seorang anak yang sampai masa remajanya menunjukkan sikap yang sangat anti terhadap keagamaan walaupun pada akhirnya masuk ke sekolah pendeta dan bertemu dengan Samuel Munson. Setelah tamat dari sekolah pendeta di Androver tahun 1832 dan menikah pada tahun 1833, mereka dipersiapkan sebagai missionaris menyebarkan berita Injil ke Tanah Batak yang indah tiada tara. *)

Anggota DPRD dari PDS Dituduh Selewengkan Dana Bansos 2012

Kudus Kurniawan, Ferry Pardede, Donna Hutauruk dan Hery Fredy Simanjuntak Dilapor ke Kejati Riau



Menurut Liberson Sinaga, empat anggota Fraksi PDS Kota Pekanbaru, masing-masing Kudus Kurniawan, Ferry Shandra Pardede, Donna Hutauruk dan Hery Fredy Simanjuntak dituduh telah menyelewengkan dana Bansos yang masing-masing mereka menerima Rp500 juta pada APBD Kota Pekanbaru tahun 2012. "Penerima Bansos melalui keempat anggota DPRD Pekanbaru dari PDS ini perlu diusut, karena diduga banyak yang fiktif," ungkapnya.

Pekanbaru, Horas
Puluhan massa pengunjukrasa mendesak Polda Riau mengusut tuntas kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan Ketua DPW PDS Riau Yanto Nazareth dan mantan Sekretaris Kudus Kurniawan.

Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Riau didesak menuntaskan penyelidikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang melibatkan Pengurus Partai Damai Sejahtera (PDS) dalam hal dukungan untuk Bakal Calon Gubernur Tengku Mukhtaruddin.

Desakan itu diungkapkan puluhan orang yang menamakan diri  Komunitas Kasih Penegak Kebenaran (KKPK) PDS ketika berunjukasa di Markas Polda Riau, Rabu (2/10).

Koordinator Aksi KKPK PDS, Liberson Sinaga menyebutkan, Polda Riau diminta mengusut tuntas laporan Tim Sukses Bakal Calon Gubernur Tengku Mukhtaruddin terkait dukungan PDS untuk yang bersangkutan untuk maju pada Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) yang lalu. Dalam kasus itu Ketua DPW PDS Riau Yanto Nazareth dan mantan Sekretarisnya, Kudus Kurniawan S dilaporkan dengan sangkaan penipuan dan penggelapan sebesar Rp450 juta.

Dana itu merupakan uang partisipasi dan dukungan PDS untuk pencalonan Tengku Mukhtaruddin. Namun sebelum mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, Tim Sukses Tengku Mukhtaruddin kaget PDS ternyata mendukung calon lain.

"Tapi anehnya, dalam kasus ini mengapa hanya  baru Yanto Nazareth yang diperiksa, sementara Kudus Kurniawan masih 'enak melenggang' sebagai anggota DPRD Kota Pekanbaru," tukas Liberson.

Dikatakannya, selaku kader dan simpatisan PDS, kasus penipuan dan penggelapan yang dilakukan Yanto dan Kudus ini sangat mencoreng citra partai dan melukai hati pendukung PDS.

Usai berunjukrasa di Markas Polda Riau, massa lalu melanjutkan aksi di kantor Kejaksaaan Tinggi (Kejati) yang hanya dipisahkan Jalan Gajahmada.

Di tempat ini, massa KKPK PDS  meminta pihak Kejati mengusut dugaan penyimpangan dana Bantuan Sosial (Bansos) yang diduga dilakukan anggota Fraksi PDS) di DPRD Kota Pekanbaru. Kasus itu diduga telah merugikan negara miliaran rupiah ini.

Menurut Liberson, empat anggota Fraksi PDS Kota Pekanbaru, masing-masing Kudus Kurniawan, Ferry Shandra Pardede, Donna Hutauruk dan Hery Fredy Simanjuntak dituduh telah menyelewengkan dana Bansos yang masing-masing mereka menerima Rp500 juta pada APBD Kota Pekanbaru tahun 2012.

"Penerima Bansos melalui ketiga anggota DPRD Pekanbaru dari PDS ini perlu diusut, karena diduga banyak yang fiktif," ungkapnya.

Menanggapi tuntutan para demonstran itu, Kepala Seksi Bidang Ekonomi dan Moneter Kejati Riau, Satria Abdi SH berjanji akan menyelidiki kasus tersebut.

"Tetapi alangkah bagusnya bila kawan-kawan pendemo memberikan data lengkap soal penyimpangan dana Bansos itu," ucapnya. (dw/*)

Kudus Kurniawan Siahaan vs Pasiar Simanjuntak

“Yanto Nazaret dan Romwel Sitompul sempat di periksa Polda Riau atas laporan tim sukses Tengku Muktharuddin ke Polda Riau atas penggelapan uang sebesar Rp 450,000,000 (empat ratus limapuluh juta rupiah)”.
Pdt. Samuel Cristian Sitompul

Pekanbaru, Horas
Habis manis sepah di buang, itulah yang terjadi di anggota dprd Kota dari Fraksi pds.
Sudah lebih kurang 4 tahun fraksi pds ada, selama 2,5 tahun fraksi pds tidak ada pernah kedengaran ribut-ribut, tapi setelah adanya pergantian pengurus dpw pds, yg di tinggal oleh Rudi sinaga sebagai ketua Dpw pds terjadilah keributan di tubuh partai yangg berlambang salib itu.

Setelah kepengurusan di certekerkan  DPP PDS suasana bertambah ricuh, karena pengurus dpc pds se propinsi menggadang-gadangkan Jon Piter simanjuntak sebagai ketua DPW PDS, ternyata semua keinginan pengurus Dpc Pds se propinsi Riau hancur lebur di tangan ketua kerteker pds. 

Setelah berjalan beberapa bulan ketua kerteker, menerima masukan dari kalangan gereja-gerja yang ada di propinsi Riau dan hamba-hamba Tuhan, dapatlah kesimpulan di pengurus kerteker merekomendasikan ketua DPW PDS Yanto Nazaret, Sekretaris Kudus kurniawan dan bendahara, Romwel Sitompul. 

Berjalan beberap bulan kepengurusan Yanto dan Kudus, permasalahan di tubuh pds bertambah ricuh, terjadinya dualisme  yang satu di bawah pimpinan, Jon Piter Simanjuntak dan Yanto Nazaret,

Dari kubu Jon Piter mengklaim bahwa anggota dprd yang ada di propinsi Riau harus patuh dan taat kepada kepengurusannya, sampai sampai kubu Jon Piter melayangkan surat ke seluruh anggota dprd kabupaten/kota sepropinsi Riau, yang isinya "kalau Anggota dprd tidak patuh akan kita PAW".

Kepengurusan Yanto Nazaret selaluh di dalam ke permaslahan antara lain peresmian kantor dpw pds yang terjadi pelemparan telor busuk ke kantor DPW PDS di jalan Sukarno Hatta komplek patung kuda kuda dan demonstrasi dari pihak Jon Piter di hotel Ibis pada acara paskah bersama Partai Damai Sejahtra.

Tidak hanya sampai di situ permasalahan di tubuh dpw pds, sampai juga dengan masalah  Pilkada Riau saat ini. Disanalah pengurus dpw pds pecah antara ketua dan sekretaris dan bendahara, berawal dari dukungan partai pds kepada Tengkuh Muktar Nurddin, di alihkan ke Herman Abdullah.

 Yanto Nazaret dan romwel Sitompul sempat di periksa Polda Riau atas laporan tim sukses Tengku Muktharuddin ke Polda Riau atas penggelapan uang sebesar RP 450,000,000 (empat ratus limapuluh juta rupiah).
Mulai dari permasalahaan itulah kepengurusan DPW PDS tidak kompak bertambah lagi dengan 3 anggota dprd kota Pekanbaru sudah berpindah partai dalam pencalonan anggota dewan,2014-2019 ke partai Hanura.

Sementara yang diduga menyegel kantor fraksi pds di dprd Kota Pekanbaru adalah Pasiar Simamjuntak mantan anggota Kudus Kurniawan, yang dahulu sempat dipercayakan Kudus sebagai ajudan proposal dan sempat menerima gaji dari fraksi Pds sebesar Rp 1,5 juta/bulan.

Pasiar Simamjuntak (penyegel kantor dprd, red) sempat beberapa tahun menerima gaji dari fraksi pds, tapi itulah manusia saat ini yang tidak tau diri, sudah dikasih hati malah mintak jantung.

 Anggota DPRD kota Pekanbaru dari fraksi PDS Kudus Kurniawan mengatakan, permasalahan tiga orang yang melakukan penyegelan di Fraksi PDS DPRD kota Pekanbaru dikembalikan kepada pengurus partai DPW PDS Provinsi Riau.

“Kita serahkan kepengurus partai masalah penyegelan ini. Namun yang harus digaris bawahi adalah ini adalah kantor pemerintah. DPRD ini kan kantornya pemerintah daerah, yang berhak menutup kantor adalah pemerintah, bukan orang tersebut (oknum yang mengaku kader PDS-red),“ katanya kepada Horas, saat ditemui di DPRD kota Pekanbaru, belum lama ini.

Anggota Komisi I DPRD kota Pekanbaru ini menambahkan, segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dalam hal pengerusakan itu artinya sama saja telah melakukan perbuatan melawan hukum dan harus ditindak.
“Segala yang melakukan pengerusakan aset milik daerah adalah perbuatan melawan hukum. Apa alasan oknum itu melakukan penyegelan. Masalah segel menyegel kita kembalikan siapa pengelola kantor DPRD ini, tentu sekretaris daerah dalam hal ini yang bertindak adalah sekretaris Dewan,“ Sebutnya.

Sementara di tempat yg berbeda kader pds ini mengatakan bahwa ke 3 anggota dprd dari fraksi pds Itu tidak layak lagi duduk di dprd kota, karna mereka sudah mendaftar di salah satu partai dan mereka sudah masuk di dalam daftar calon tetap (DCT) di partai Hanura.

Ke tiga anggota dprd yg tidak tahu diri dan tidak layak lagi sebagai anggota dprd di kota pekanbaru yaitu Kudus Kurniawan, Ferry Shandra Pardede dan Dona Rosita Hutauruk.

Sementar tokoh batak Pekanbaru, mengatakan kenapa harus terjadi antara dewan dengan tim suksesnya, semuanya kan bisa dibahas dengan cara kekeluargaan, apalagi partai itu adalah partai agama.
"Itulah orang batak ini sudah senang lupa sama orang yang dibawahnya" tegas tokoh Batak.

 Tapi sama juga dengan orang dibawahnya sudah dibuat pekerjaan tapi berbuat ulah juga.
Jadi tidak ada yang bisa disalahkan keduanya tetap memberikan keterangan yang membela dirinya sendiri, ungkap tokoh masyarakat yang duluh solid ke partai PDS, yang tidak mau namanya di publikasikan. (Jtk)
Demo pds

Belum lama ini, kader PDS mengadakan unjuk raja ke DPRD Pekanbaru. Apa yang mereka demo? 
Kader PDS Kota Pekanbaru Samuel Sitompul mengatakan, persoalan utama adalah soal keputusan MK yang menyatakan bahwa anggota DPRD bisa mencalonkan kembali menjadi anggota DPRD tanpa perlu mengundurkan diri.

Itu bisa saja dan tak perlu diributkan. Tapi masalahnya, kenapa partai   tidak ambil tindakan. Ketiganya sudah jelas-jelas mengantongi KTA Partai Hanura. Secara otomatis mereka tidak lagi anggota PDS dan sudah pindah partai. Jadi, harus di-PAW. 

Sebaliknya, partai Hanura juga harus meminta surat pengunduran diri mereka dari PDS untuk menjaga hal-hal yang akan timbul di kemudian hari.
Kenapa tidak ada lagi untuk rasa lanjutan, sesuai janji mereka? Samuel Sitompul mengatakan “sedikit error”, kita lihat saja nanti.
Mereka memasang beberapa buah spanduk yang isinya “Hentikan Tindakan Pelacuran Dewan Partai Damai Sejahtera” dan “Hentikan Penjualan Partai Damai Sejahtera”.
  *)

Soniwati, Caleg PDIP Dapil VI Siak dan Pelalawan Nomor urut 2 :

Berjuang untuk Kemajuan Rakyat

“Besar kasih karunia Allah”. Itulah awal perkataan dalam pertemuan tim Horas dengan Soniwati Simatupang di sebuah restoran belum lama ini. Dia menceritakan mengapa dia tertarik ke dunia politik.

Soniwati lahir di desa Teluk Dalam Kabupaten Nias Barat yang masih jauh dari pusat kota tahun 1967.
Dia bersekolah mulai dari SD, Smp, sma di kota kelahirannya. Setelah lulus dari sma dia mencoba merantau ke propinsi Riau untuk melanjutkan pendidikan ke kota Pekanbaru. Berkat kasih Tuhan Soniwati di terima kuliah di UNRI, angkatan 1984. Selesai kuliah di unri, dia mencoba melamar pekerjaan di salah satu asuransi di kota Pekanbaru. Itulah besar kasih karunia Tuhan. Soniwati  langsung diterima bekerja di salah satu asuransi di kota Pekanbaru.

Setelah beberapa tahun bekerja di asuransi, Soniwati berjumpa dengan laki- laki berdarah Batak. Tidak lama berpacaran hanya satu tahun berkenalan langsung kawin. Suaminya Ir Hendrik Sitompul, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Riau. Mereka, kini, telah dikarunia tiga anak.
Soniwati menikah dengan Ir hendrik Sitompul pada tahun 1990 di kota Pekan baru. Di pernikaannya Soniwati dinobatkan sebagai Boru Simatupang dan orang tua angkatnya tinggal di Minas.
Memang, berkat  Tuhan tidak bisa dihambat. Keluarga ini diberkati Tuhan  tiga orang anak. Satu laki-laki dan dua putri.

Tidak terasa waktu berjalan sampai saat ini anak sulungnya  sudah lulus dari perguruan tinggi dan putri tertua sekarang sedang kuliah, sementara putri bungsunya masih sekolah di tingkat smp.
Terjun ke dunia politik
Awalnya ia hanya ingin memenuhi kuota 30% perempuan.Tetapi setelah terjun langsung ke lapangan wanita ini merasa terpanggil untuk bisa langsung membantu masyarakat yang di bawah garis kemiskinan, dan anak anak yg putus sekolah,
Wanita yg bernama lengkap Soniwati Wau, merupan Calon Anggota DPRD Riau dari partai PDIP Dapil VI Siak dan Pelalawan dengan nomor urut 2. Wanita ini tetap gigih turun ke masyarakat di waktu memperkenalkan cagub dan cawagub LURUS yang di usung dari partai PDIP. Dari sanalah Soniwati melihat langsung bagaiman sebenarnya yang terjadi di lapangan.
Banyak masyarakat yang memang belum tersentuh dari pihak pemerintah Propinsi Riau, kususnya di daerah pedesaan. Satu contoh air bersih di daerah perawang dan Minas dan aliran listrik di daerah kecamatan Minas Barat.

Dia berkarir di bidang organisasi wanita. Saat ini Soniwati menjabat sebagai bendahara di gabungan organisasi wanita (GOW) dan Ketua dpc PWKI (Persatuan wanita kristen indonesia). Walau pun wanita ini ibu rumah tangga masih tetap exsis di pekerjannya di asuransi terkenal.

Dimana saat ini  kpk gencar gencarnya membrantas korupsi di negara kita yg tercinta ini. Soniwati tidak pernah takut dan tidak luntur hatinya untuk pencalegkan ini, "Saya bukan ingin korupsi walau nanti saya di izinkan Tuhan duduk di gedung legeslatif itu,"ungkap Soniwati.
“Tujuan saya masuk dalam dunia politik bukan hanya untuk jabatan, tapi saya sudah membuat rencana kedepan memproritaskan masalah pendidikan, infrastruktur dan meningkatkan koperasi bagi kalangan pengusaha ekonomi kecil,” katanya.

Disamping itu, katanya, untuk lebih dekat dengan masyarakat pedesaan yang selama ini masyarakat yang tidak pernah tersentuh dari program pemerintah, dimana program pemerintah saat ini banyak tapi bagi kalangan masyarakat yang ada di desa-desa terpencil tidak pernah tersentuh oleh pemerintah setempat.
Soniwati dan keluarga memohon doa dan dukungan dari masyarakat khususnya yang ada di daerah kabupaten Siak dan Pelalawan.
Dia juga memohon dukungan dari keluarga besar Sitompul, Simatupang, Nainggolan dan Tambunan Silalahi Sabungan yang ada di wilayah Dapil VI Kabupaten Siak dan Pelalawan, karena dia ingin mengabdi kepada rakyat. (juntak)