Oleh : Ramlo R Hutabarat
Kamis (14/3) jelang tengah hari, mendapat telepon dari Saut Sinaga, rekan sayawWartawan Tabloid HORAS di Pekanbaru. Dia mengabarkan Drs TMH Sinaga, mantan Bupati Tapanuli Utara (Taput) periode 1994 – 1999 meninggal di rumahya di Jalan Negara, Medan.
Sekejab saya terkejut, kaget dan terpaku. Sudah lama memang saya tak bertemu dengan alumni Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen itu. Mendengar kabarnya pun tidak. Saya bertemu terakhir sekali dengannya pada 2009 di Gedung DPRD Sumatera Utara di Medan. Waktu itu almarhum menjadi Anggota DPRD Sumatera Utara dari Fraksi Partai Golkar.
“Hidup memang terasa singkat, segala berlalu dan terus berlalu. Satu-satu datang, satu-satu pergi”, pikir saya dalam hati.
Saya mengenal TMH Sinaga saat jelang pemilihan Bupati Taput tahun 1994. Sebagai wartawan, saya mendatanginya ke rumahnya di Jalan Negara, Medan, kira-kira di belakang Aksara Plaza di kawasan Jalan Pancing Medan arah ke Tembung. Biasalah wartawan. Waktu saya dengar kabar ada seorang bernama TMH Sinaga menjadi Calon Bupati Taput, saya bolak-balik buku telepon. Dari Buku Telepon yang disebut juga sebagai Yellow Pages itu, saya mendapat alamat rumahnya.
Bersama istrinya, Boru Simarangkir yang dosen di Universitas Sumatera Utara (USU), dia menerima saya di teras rumahnya yang megah dan mentereng. Meski baru saja saling berkenalan, pertemuan pertama kami terasa akrab dan mesra. Namanyalah Orang Batak. Ada saja hubungan kekerabatan kalau dihubung-hubungkan dan dikaitkan. Mertuanya, ibunda istrinya, kebetulan Boru Hutabarat. Akhirnya, dia dan istrinya menyebut saya dengan ‘tutur’ Tulang. Saya setuju saja, apalagi dalam tradisi Batak posisi ‘Tulang’ selalu dihormati.
Usai mewawancarainya menyangkut siapa dan bagaimana dia, pamit dan segera menulis tentang dia di surat kabar tempat saya bekerja. Besoknya, hasil wawancara saya dengan almarhum yang disiarkan dalam halaman pertama, saya antar ke rumahnya. Wajahnya ceria. Waktu saya pamit untuk pulang dari rumahnya, kedalam saku saya disisipkannya amplop tebal. Sudah barang tentu, isinya uang, bukan narkoba.
Pada masa itu memang, sistem pemilihan kepala daerah belum seperti sekarang. Yang digunakan sebagai dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi, tidak lewat pemilihan secara langsung oleh rakyat seperti yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Sistem yang pertama dibanding dengan sistem yang sekarang, jauh berbeda. Bagai langit dan bumi. Jauh dan jauh sekali. Tak bisa dipersamakan.
Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Kepala Daerah dipilih oleh DPRD berdasarkan usul dari fraksi. Sementara, waktu itu fraksi yang ada di DPRD cuma Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), Fraksi Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Demokrasi Pembangunan (PDI), serta Fraksi ABRI. Secara umum di DPRD di tanah air waktu itu, Fraksi Karya Pembangunan mendominasi. Tak terkecuali di DPRD Tapanuli Utara. Jadi biasanya, calon yang diajukan oleh Fraksi Karya Pembangunan selalu muncul sebagai pemenang atau kepala daerah terpilih. Tak sulit untuk menebak atau memprediksi siapa kepala daerah terpilih. Siapa yang dicalonkan oleh Fraksi Karya Pembangunan, dialah yang kelak terpilih.
Dalam implemantasinya, seorang calon kepala daerah yang diajukan oleh Fraksi Karya Pembangunan adalah seorang calon yang dekat dengan gubernur. Dalam hal ini, posisi gubernur lebih cenderung sebagai Ketua Dewan Penasehat Golongan Karya di tingkat propinsi. Dengan alasan seorang kepala daerah pada masa itu adalah sekaligus seorang kepala wilayah yang menjadi wakil pemerintah pusat di daerah, sudah barang tentu seorang gubernur akan menjagokan ‘orangnya’ Tak mungkin seorang gubernur yang sekaligus Ketua Wanhat Golkar menjagokan orang lain. Makanya, di zaman orde baru dulu semua kepala daerah di tanah air adalah seorang Golkar. Di luar itu, hanya mimpi.
Saya sendiri memang, termasuk beruntung waktu itu sangat dekat dengan kekuasaan. Waktu pemilihan Walikota Pematangsiantar misalnya yang menghasilkan almarhum Zulkifli Harahap menjadi walikota, saya ikut terlibat langsung bersama Mariaman Naibaho SH yang waktu itu Ketua DPRD Kota Pematangsiantar sekaligus Ketua DPD Golkar. Mariaman sempat curhat kepada saya dan rekan saya Drs Ulamatuah Saragih. Dari curhatnya Mariaman waktu itu, saya memetik pelajaran mahal. Saya tidak percaya pada segala macam teori politik. Kalau teori politik yang digunakan, manalah mungkin memang Zulkifli yang saat itu Sekdakab Tapanuli Selatan terpilih menjadi Walikota Pematangsiantar.
Pelajaran itulah yang saya gunakan saat proses pemilihan Bupati Taput. Sebagai wartawan, saya pun menggadang-gadang TMH Sinaga di surat kabar tempat saya bekerja. Beruntung memang, Sabirin Thamrin, Pemred Mimbar Umum tempat saya bekerja waktu itu selalu menempatkan berita-berita yang saya tulis di halaman pertama. Tak heran, saya pun jadi ngetop di mata TMH Sinaga.
Dari Mariaman Naibaho, saya mendapat informasi yang jelas dan tegas. Jelang penetapan calon kepala daerah, Fraksi Golkar di DPRD akan menghadap gubernur sebagai Ketua Wanhat Golkar tingkat propinsi. Kepadanya ditanyakan siapa – siapa yang akan diajukan sebagai calon, dan siapa pula yang dipilih kelak. Jadi, saat itu saja pun sudah akan diketahui siapa yang akan menjadi kepala daerah. Yang diajukan Fraksi lain tidak akan pernah terpilih. Apalagi, Fraksi ABRI tetap dan selalu memilih calon yang diajukan Fraksi Karya Pembangunan. Sementara, kedua fraksi ini adalah saudara kandung bahkan saudara kembar pula. Selainnya, formalitas melulu. Mendagri sendiri, selalu menyerahkan kepada gubernur siapa yang akan dipilih (ditentukan ?) sebagai kepala daerah. Artinya, waktu itu memang Mendagri cuma terima bersih. Tak ada campur tangan sama sekali. Sudah ada takaran dan ukurannya. Kepala daerah kelas A sekian, kepala daerah kelas B sekian.
Pelajaran itulah yang saya implementasikan terhadap proses pemilihan Bupati Taput waktu itu. Dan sudah tentu, TMH Sinaga pun menjadikan saya sebagai wartawan kesayangan. Sebegitu terpilih, dia segera memanggil saya : “Kamu dampingi saya selama menjadi bupati disini ya”, katanya. Tawaran yang sudah tentu saya terima dengan senang hati.
“Terus terang, saya lahir dan besar di Rantauprapat, Tanah Karo dan Medan. Selama bertugas sebagai PNS pun, saya cuma di propinsi. Kamu kan paham sekali Taput. Disini saja ya”, katanya.
Sejak itulah, setiap Senin pagi saya berangkat ke Tarutung dan pulang ke Siantar setiap Sabtu. Saya tinggalkan istri dan putra-putri saya di rumah kontrakan kami di Jalan Sangnawaluh 10 A, persis di samping Megaland sekarang. Tak ada duka apalagi nestapa, sebab setiap Sabtu saya membawa segepok uang. Wajah istri saya tetap ceria dan cantik jelita setiap menyambut kepulangan saya saat malam sudah merangkak dengan damainya. Dan sisa malam kami habiskan dengan kelelahan yang amat sangat, meski pun begitu nikmat berpadu dalam cinta. Sementara Marto, Bram, Noni dan Mado tetap nyenyak di kamar sebelah.
Di akhir masa orde baru, 1999, TMH Sinaga pun jelang mengakhiri masa bhaktinya sebagai Bupati Taput, tapi almarhum masih berkeinginan untuk menduduki jabatan itu. Saya dipanggilnya ke kamar kerjanya, diberi perintah ini-itu, dan menyerahkan segepok uang untuk saya. Besoknya, bersama Victor Sinaga yang waktu itu Kepala Tata Usaha Dinas PU Daerah Tapanuli UJtara, saya berangkat ke Medan. Lewat ajudan Mayjen Tulus Sihombing yang waktu itu Waka BAIS ABRI, akhirnya saya berhasil mempertemukan almarhum dengan orang kedua di BAIS (Badan Intelejen dan Strategi) ABRI itu di Hotel Tiara Medan. Biasalah, almarhum TMH Sinaga menyampaikan keinginannya kepada sang jenderal.
Tapi waktu almarhum turun dari lantai IV Hotel Tiara setelah mengadakan pertemuan sekira lima menit dengan sang jenderal, wajahnya saya lihat kuyu dan kusut. Beberapa jenak saya diam membisu, tapi pada beberapa jenak berikutnya ketika kami duduk di lobby hotel saya tak mampu untuk tidak bertanya : “Bagaimana Pak ? Positif ?”
Almarhum menggeleng pelan dan perlahan. Saya memandang wajah Victor dan Victor pun memandang wajah saya. Wajah almarhum saya lihat masih saja kuyu dan kusut.
“Jenderal Tulus mengatakan, beliau tidak mengurus siapa-siapa yang ingin menjadi kepala daerah”, kata TMH Sinaga pelan, seperti tidak kepada siapa-siapa.
Saya diam. Victor diam. TMH Sinaga juga diam. Kami diam. Lagu sendu mengalun lembut dari speaker di dinding lobby Hotel Tiara.
Anehnya, waktu ingin beranjak pulang ke Siantar, dua ban mobil saya kempes entah karena apa. Padahal di parkiran Hotel Tiara itu, tak ada saya lihat benda mencurigakan yang bisa membuat ban kempes. Sempat juga terpikir saya, ini tak lain pekerjaan orang-orang intel di sekeliling Mayjen Tulus Sihombing. Tapi pikiran itu cepat-cepat saya bunuh dari otak saya.
Sekarang, TMH Sinaga sudah pergi. Pergi ke tempat Yang Maha Tinggi, dimana dendam, iri, dengki dan sakit hati tak ada lagi. Dari mantan ajudannya Manaor Silalahi SSos yang sekarang menjadi Camat Hutabayu Raja, Simalungun, saya mendapat tahu almarhum akan dikebumikan Minggu 17 Maret mendatang.
“Kita ke Medan ya Lae untuk melayatnya,” kata Manaor lewat telepon. Selamat Jalan Pak TMH. Saya akan tetap mengenangmu...